InternasionalBerita - Pada tanggal 12 November 2024, dua konten kreator TikTok di Uganda ditangkap karena diduga menyebarkan konten yang menghina Presiden Uganda Yoweri Museveni dan keluarganya. Mereka dianggap telah menyebarkan kebencian serta merendahkan martabat presiden dan keluarganya melalui platform media sosial TikTok. Penangkapan ini memicu kontroversi terkait kebebasan berpendapat di Uganda yang semakin terbatas, dengan banyak pihak yang menilai tindakan pemerintah semakin represif dalam mengawasi aktivitas daring dan kebebasan berekspresi.
1. Penangkapan Warga yang Diduga Menghina Presiden Museveni
Dua orang yang ditangkap atas tuduhan penyebaran kebencian terhadap keluarga Presiden Museveni adalah David Ssengozi, yang dikenal sebagai Lucky Choice (21), dan Isaiah Ssekagiri (28). Kedua individu ini diduga menyebarkan konten yang bertujuan untuk menghina Presiden Museveni dan keluarganya di TikTok. Ssekagiri kini sedang ditahan di Penjaga Kigo, Uganda, dan sedang menunggu jadwal persidangan perdananya. Selain itu, seorang tersangka lainnya, Julius Tayebwa (19), juga menerima tuntutan hukum atas kasus yang sama, menyusul penyebaran konten serupa yang dianggap merendahkan citra keluarga presiden.
Menurut Kejaksaan Uganda, konten yang mereka unggah di media sosial dianggap bertujuan untuk merusak martabat dan reputasi Presiden Museveni dan keluarganya. Penangkapan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah Uganda untuk menanggapi peningkatan penyebaran konten yang dianggap menghina tokoh-tokoh penting, terutama Presiden Museveni. Pada bulan September 2024, polisi Uganda memperingatkan bahwa penghinaan terhadap presiden dapat dijerat dengan tuntutan pidana yang serius.
2. Pembatasan Kebebasan Berpendapat di Uganda
Peristiwa ini semakin memperkuat kritik terhadap kebijakan pembatasan kebebasan berekspresi di Uganda. Pemerintah Uganda telah dikenal melakukan tindakan represif terhadap kritik atau pernyataan yang dianggap mengancam stabilitas politik atau merendahkan pemimpin negara. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah semakin memperketat pengawasan terhadap aktivitas daring, termasuk penggunaan media sosial.
Pada bulan Juli 2024, pemerintah Uganda mengambil langkah tegas dengan mengancam siapapun yang mengikuti demonstrasi anti-korupsi dengan hukuman yang keras. Pemerintah juga telah mengambil tindakan hukum terhadap individu yang menyebarkan informasi yang dianggap merusak citra pejabat negara. Hal ini menunjukkan sikap pemerintah yang semakin tidak toleran terhadap kritik terhadap kepemimpinan Presiden Museveni, yang telah memerintah Uganda selama hampir empat dekade.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) internasional turut menyuarakan keprihatinannya terhadap situasi ini. Mereka menilai bahwa pembatasan kebebasan berpendapat semakin menguat, yang berpotensi merusak hak individu untuk menyampaikan pendapat secara bebas. Banyak orang di Uganda merasa bahwa kontrol yang ketat terhadap internet dan media sosial bertujuan untuk menghalangi masyarakat dalam mengkritik pemerintah, yang sering kali dianggap mengekang kebebasan politik di negara tersebut.
3. Anak Presiden Museveni Mundur dari Pencalonan Pilpres 2026
Di tengah ketegangan politik di Uganda, Muhoozi Kainerugaba, anak Presiden Yoweri Museveni, mengumumkan pada bulan September 2024 bahwa ia tidak akan mencalonkan diri pada Pemilihan Presiden Uganda 2026. Kainerugaba, yang saat ini menjabat sebagai panglima militer Uganda, sebelumnya disebut-sebut sebagai calon penerus ayahnya. Dalam pengumumannya, ia menyerukan kepada pendukungnya untuk mendukung pencalonan ulang ayahnya pada pemilihan presiden berikutnya.
Kainerugaba dikenal karena pernyataan-pernyataannya yang kontroversial, termasuk klaim bahwa ia berniat untuk menginvasi negara tetangga Kenya pada tahun 2022. Meskipun demikian, langkahnya untuk tidak mencalonkan diri telah menjadi berita besar di Uganda, yang menimbulkan spekulasi mengenai masa depan kepemimpinan politik di negara tersebut. Keputusan ini juga memperjelas bahwa Presiden Museveni, yang telah berkuasa selama 38 tahun, masih bertekad untuk melanjutkan kepemimpinannya dengan mencalonkan diri lagi di pemilihan presiden mendatang.
Oposisi politik di Uganda, yang semakin vokal, menuduh Museveni berusaha untuk mendirikan sebuah sistem monarki di Uganda. Ini merujuk pada fakta bahwa Presiden Museveni telah mengubah konstitusi negara sebanyak dua kali untuk memperpanjang masa jabatannya dan memperkuat kontrol atas kekuasaan politik. Kritik terhadap langkah ini semakin meningkat, dengan banyak yang berpendapat bahwa pemerintahan Museveni semakin otoriter.
4. Utang Luar Negeri Uganda dan Rencana Pemotongan
Sementara ketegangan politik semakin meningkat, Uganda juga menghadapi tantangan ekonomi yang besar. Kementerian Keuangan Uganda mengumumkan rencana untuk mengurangi utang luar negeri negara tersebut hingga 98 persen mulai tahun fiskal ini hingga Juni 2026. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi beban utang publik yang semakin meningkat.
Menurut laporan Reuters, utang luar negeri Uganda telah melonjak menjadi 25,6 miliar dolar AS (sekitar Rp402 triliun) pada Juni 2024, meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 23,7 miliar dolar AS (sekitar Rp372,7 triliun). Lonjakan utang ini sebagian besar digunakan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, meskipun utang meningkat, Uganda mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Negara ini tercatat memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan banyak negara Afrika lainnya setelah pandemi COVID-19. Meski demikian, kenaikan utang negara masih menjadi masalah yang perlu ditangani dengan hati-hati, karena dapat memengaruhi stabilitas fiskal jangka panjang.
5. Kritikan terhadap Kebijakan Pemerintah Uganda
Insiden penangkapan dua warga yang dianggap menghina Presiden Museveni dan kebijakan pemerintah terkait kebebasan berekspresi semakin memicu kritik keras dari berbagai kalangan. Kelompok hak asasi manusia (HAM) dan organisasi internasional menilai bahwa kebebasan berpendapat di Uganda semakin dibatasi. Pembatasan ini tidak hanya meliputi kebebasan berbicara secara umum, tetapi juga pengawasan ketat terhadap aktivitas online, yang kini menjadi salah satu saluran utama bagi masyarakat untuk mengungkapkan pendapat dan kritik terhadap pemerintah.
Kebijakan ini juga mendapat kritik karena menciptakan iklim ketakutan bagi para aktivis, jurnalis, dan warga negara yang ingin menyampaikan pendapat secara bebas. Dengan penangkapan ini, banyak yang merasa bahwa Uganda semakin menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan berbicara yang seharusnya menjadi bagian dari hak dasar manusia.
Baca Juga : Bahaya Polusi Udara Ancam Jutaan Balita di Pakistan
Penangkapan dua warga Uganda yang diduga menghina Presiden Museveni di TikTok menunjukkan ketegangan politik yang semakin tinggi di negara tersebut. Di tengah pembatasan kebebasan berpendapat, pengawasan ketat terhadap media sosial, serta kontrol politik yang semakin kuat, pemerintah Uganda menghadapi kritik tajam dari kelompok hak asasi manusia dan masyarakat internasional. Sementara itu, langkah-langkah ekonomi yang diambil oleh pemerintah, termasuk pemotongan utang luar negeri, juga memperlihatkan bagaimana Uganda berusaha menjaga stabilitas fiskal di tengah tantangan ekonomi global. Cari tahu juga informasi menarik dan terupdate lainnya di Liputan Berita
Social Header