InternasionalBerita - Pada Rabu, 13 November 2024, mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, secara terbuka meminta kepada Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk segera melakukan penyelidikan terhadap dirinya terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama masa kepresidenannya, terutama dalam konteks kampanye perang anti-narkoba yang ia jalankan. Permintaan ini muncul dalam sebuah sesi penyelidikan oleh kongres Filipina mengenai kebijakan keras Duterte dalam menanggulangi masalah narkoba yang selama ini telah mendapat kritik dari berbagai kelompok hak asasi manusia.
Duterte Desak Penyelidikan Segera Dimulai
Mantan presiden yang terkenal dengan kebijakan kontroversial ini mengungkapkan bahwa ia ingin proses penyelidikan terhadap dirinya segera dilakukan. Dalam pernyataannya, Duterte menegaskan bahwa masalah ini sudah terlalu lama dibiarkan menggantung tanpa ada penyelesaian. Ia bahkan menyarankan agar ICC segera datang ke Filipina dan memulai penyelidikan secepatnya.
"Saya meminta ICC untuk bergegas, dan jika memungkinkan, mereka bisa datang ke sini dan memulai penyelidikan besok. Masalah ini sudah bertahun-tahun dibiarkan menggantung," ungkap Duterte dalam sidang kongres yang membahas kebijakan anti-narkoba yang ia terapkan.
Sebagai penegasan terhadap kesiapan untuk menghadapi penyelidikan, Duterte menambahkan, "Jika saya terbukti bersalah, saya akan masuk penjara." Pernyataan tersebut menunjukkan sikap mantan presiden yang siap menghadapi konsekuensi hukum jika terbukti bersalah dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dituduhkan terhadapnya.
Kematian Akibat Kampanye Anti-Narkoba: Angka yang Terus Diperdebatkan
Salah satu isu yang menjadi sorotan utama dalam kampanye anti-narkoba Duterte adalah tingginya angka kematian yang dikaitkan dengan operasi penegakan hukum yang dilakukan selama masa pemerintahannya. Berdasarkan data resmi polisi, lebih dari 6.200 orang dilaporkan tewas dalam operasi anti-narkoba selama periode 2016 hingga 2022. Namun, kelompok hak asasi manusia dan organisasi internasional yang memantau situasi ini memperkirakan jumlah kematian yang sebenarnya jauh lebih tinggi, mencapai sekitar 30.000 orang.
Banyak dari mereka yang tewas adalah pengguna atau pengedar narkoba kecil yang diduga dibunuh oleh individu yang tidak dikenal, dalam sejumlah serangan yang sering kali disebut sebagai "eksekusi ekstradadicional." Keberadaan banyak kasus yang tidak terungkap ini membuat banyak pihak meragukan angka kematian yang dilaporkan oleh pemerintah Filipina.
Meskipun demikian, Duterte tetap berdalih bahwa ia bertanggung jawab atas kebijakan yang diterapkan oleh aparat penegak hukum di Filipina. Ia mengungkapkan, "Saya bertanggung jawab penuh atas apa pun yang terjadi dalam tindakan yang diambil oleh lembaga penegak hukum negara ini untuk menghentikan masalah serius narkoba yang mempengaruhi rakyat kita."
Filipina Tarik Diri dari ICC, Tapi Jaksa Tetap Punya Yurisdiksi
Pada Maret 2019, di tengah masa jabatannya, Duterte mengambil langkah kontroversial dengan menarik Filipina dari keanggotaan di ICC. Langkah ini dilakukan setelah ICC mulai mengumumkan niat untuk menyelidiki tindakannya dalam memimpin kampanye anti-narkoba. Namun, meskipun Filipina telah menarik diri dari keanggotaan ICC, keputusan tersebut tidak membuat penyelidikan terhadap Duterte berhenti begitu saja.
Keputusan ICC pada tahun 2021 menyatakan bahwa jaksa masih memiliki yurisdiksi untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran yang terjadi selama Filipina masih menjadi anggota ICC. Hal ini terjadi karena beberapa peristiwa yang terkait dengan kampanye perang narkoba Duterte terjadi dalam periode Filipina menjadi bagian dari lembaga tersebut, yakni antara 2011 dan 2019.
Pemerintahan Marcos Menolak Kerja Sama dengan ICC
Sementara itu, pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr., yang menggantikan Duterte setelah pemilu 2022, menunjukkan sikap yang sangat berbeda terkait dengan keberlanjutan penyelidikan ICC terhadap kampanye anti-narkoba. Pada awal 2024, Marcos menyatakan bahwa pemerintahannya tidak akan bekerja sama dengan ICC dalam hal apapun terkait dengan penyelidikan terhadap Duterte.
Pernyataan tersebut mencerminkan sikap tegas dari pemerintah Marcos yang enggan tunduk pada yurisdiksi ICC. "Kami tidak mengakui surat perintah yang akan mereka kirimkan kepada kami. Itu tidak akan terjadi," kata Marcos, menanggapi pertanyaan mengenai kemungkinan ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Duterte.
Presiden Marcos menegaskan bahwa Filipina berada dalam "koridor hukum internasional" dan tidak mengakui yurisdiksi ICC di negara tersebut. Ia menambahkan, "Hanya negara-negara yang tidak memiliki sistem peradilan dan penegakan hukum yang berfungsi yang memerlukan intervensi ICC." Pernyataan ini mencerminkan pandangan bahwa Filipina memiliki sistem peradilan yang independen dan dapat menangani kasus-kasus pelanggaran hukum secara internal tanpa campur tangan internasional.
Selain itu, Marcos juga menegaskan bahwa ia menganggap ICC sebagai sebuah ancaman terhadap kedaulatan Filipina, dan oleh karena itu pemerintahannya tidak akan melibatkan diri dalam proses penyelidikan lebih lanjut.
Penyelidikan ICC Berlanjut Meski Ada Penolakan
Meskipun ada penolakan dari pemerintah Filipina, ICC tidak berhenti memantau perkembangan kasus yang melibatkan Duterte dan kampanye anti-narkoba yang telah menyebabkan banyak kematian. Sejak Filipina menarik diri dari ICC, kantor kejaksaan ICC mengungkapkan bahwa mereka tetap melakukan investigasi terkait dugaan kejahatan yang terjadi antara 1 November 2011 hingga 16 Maret 2019. Penyelidikan ini berfokus pada dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kampanye perang melawan narkoba yang dilakukan oleh Duterte.
"Kantor Kejaksaan ICC sedang melakukan penyelidikan sehubungan dengan situasi di Filipina. Investigasi ini berfokus pada kejahatan yang diduga dilakukan di wilayah Filipina antara 1 November 2011 dan 16 Maret 2019 dalam konteks kampanye 'Perang Melawan Narkoba'," kata ICC dalam pernyataan kepada GMA Integrated News.
Selain itu, ICC menambahkan bahwa penyelidikan ini berdasarkan berbagai sumber, termasuk komunikasi dengan negara-negara mitra internasional, informasi sumber terbuka, serta pengumpulan bukti langsung dari saksi-saksi yang terlibat. Langkah ini menunjukkan bahwa ICC terus mengumpulkan bukti-bukti yang relevan untuk menyelidiki dugaan kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama masa pemerintahan Duterte.
Baca Juga : Niger Beri Akses Perusahaan Rusia untuk Eksploitasi Sumber Daya Alam
Permintaan Duterte agar ICC segera melakukan penyelidikan terhadap dirinya terkait kampanye anti-narkoba yang kontroversial merupakan bagian dari perkembangan panjang yang melibatkan perdebatan mengenai hak asasi manusia di Filipina. Meskipun Duterte mengklaim bertanggung jawab atas kebijakan yang diterapkan, banyak pihak, termasuk kelompok hak asasi manusia, yang berpendapat bahwa banyak kematian yang terjadi selama kampanye ini adalah akibat dari pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Pemerintah Filipina di bawah Presiden Marcos yang kini menjabat tetap menentang campur tangan ICC, menolak kerjasama dalam penyelidikan tersebut. Namun, ICC terus melanjutkan proses penyelidikannya, meskipun tanpa dukungan dari pemerintah Filipina. Hal ini menjadi contoh ketegangan antara negara yang memiliki pandangan berbeda mengenai kedaulatan dan sistem peradilan internasional.
Seiring berjalannya waktu, apakah penyelidikan ini akan membuahkan hasil yang signifikan, ataukah justru menambah ketegangan dalam hubungan internasional, masih akan menjadi perdebatan besar. Apa yang jelas, isu ini akan terus menjadi sorotan dunia, terutama dalam hal pelanggaran hak asasi manusia dan akuntabilitas para pemimpin negara. Cari tahu juga informasi menarik dan terupdate lainnya di Klik Healthy
Social Header